Fajar masih lama, namun aku dikejutkan suara ayam berkokok.
Aku takut menduga-duga, apa mungkin Roro Jonggrang menyalakan lentera sebagai siasat
supaya gugur perjanjian? Ataukah ada maling ayam yang mengendap-endap di
kandang? Atau pertanda ada yang telat tiga bulan sebagaimana dalam ungkapan
lama?
Heyy,, jangan berharap dan mengira aku akan
sekonyong-konyong berkhayal dengan menjadi Bandung Bondowoso ya, sebab aku tak
mendengar suara lesung yang ditabuh di kejauhan, atau semerbak wangi yang
membuat tentara jin itu menghentikan pembuatan seribu candi. Kita tidak sedang
hidup di jaman kerajaan, dan lagipula aku tidak mempunyai bala tentara jin
serta kesaktian untuk mengutukmu menjadi arca. Lantas jika bukan Roro
Jonggrang, lalu apa?
Ah,, mana mungkin. Tempatku tinggal bukan daerah yang rawan
pencurian, tidak ada celah untuk kemungkinan itu. Sebab di sini tidak ada
sepinya. Ada anak-anak muda yang suka nongkrong di pinggir jalan, yang meskipun
tidak melakukan ronda tetapi mampu membuat ciut nyali pencuri. Dan sebelum
anak-anak muda itu pulang, bapak muadzin sudah membangunkan mereka yang tidur
melalui pengeras suara. Jadi....?
Wkwkwkkk masa iya sih… siapa, siapa dan oleh siapa coba…??
Terlalu menggelikan yang satu ini. Mustahil. Bayangkan saja, tidak ada janda
muda, gadis-gadis bekerja di rantau orang, hanya menyisakan anak-anak
sekolahan. Terlebih pendidikan agama sudah ditanamkan kuat sejak usia dini.
Kantuk masih melanda, sementara mata enggan lagi terlena. Angan
terlanjur jauh mengelana. Entah ke London, atau barangkali ke Ambon.
Aku, ayam, serta kemungkinan Roro Jonggrang, maling, atau si
telat tiga bulan. kami sedang menginang malam.
Tapi tunggu dulu,, tunggu.. Mendadak aku teringat sesuatu.
yaitu petuah bapak kyai. Katanya nabi
bersabda “bila engkau mendengar suara ayam jantan, segeralah memohon karunia
pada Allah karena ayam itu berkokok melihat malaikat.”
Jadi, aku dan malaikat saja yang sedang merawat malam. Ayam,
Roro Jonggrang, maling, serta si hamil tanpa ayah tidak usah disertakan.
Post a Comment