“…..
Kenapa di kampung, Jo?
Maksudmu, setelah kau kacaukan semuanya? Hahaa”
Malam itu,, di negeri antah berantah. Musik, derai tawa,
derak api unggun, ayam serta ikan bakar.. Semua tersaji untuk dinikmati dalam
serangkaian Namun anehnya, aku merasa tidak memiliki, aku tidak dapat menyatu
dengan suasana itu, rasanya tidak seperti di rumah. Dan saat-saat itu
memberikan petunjuk yang sangat nyata tentang kebenaran peribahasa lama soal
kesempatan, perihal waktu. Mungkin karena kita tidak menyadari betapa berharganya
sesuatu itu justru ketika tiada. Lantas, apa aku akan menunda sepuluh tahun
lagi sambil menunggu keberhasilan seraya berharap segalanya akan tetap sama,
tidak ada yang berubah sedikitpun? Mengapa tidak sekarang saja dan menghemat
sepuluh tahun waktuku?
Lalu setelah tersentuh titik itu, (demi memuaskanmu) anggaplah
ini titik jenuh, aku disadarkan akan rumah, tempat seharusnya berada. Di sana
aku lahir, di sana aku tumbuh, di sana mimpi-mimpi itu bermula, dan ke sana
pulalah aku kembali. Aku tidak benar-benar tahu di mana aku berada sampai
akhirnya aku berada di sana, di akhir kembaraku. Aku memikirkannya lagi dan
lagi. Untuk semua hal yang mengajarkanku, dan semua yang belum kupelajari dari
sekian jalan kehidupan yang kuselusuri.
Jadi sekarang aku di sini, di kampung ini. Tak lagi kulihat
dunia luar. Meski terkadang timbul bosan, aku mencoba bertahan. Aku juga tidak
tahu sampai kapan, akan seperti apa ke depannya. Kita tidak pernah benar-benar
siap dengan segala kemungkinan, dengan apa-apa yang kita perkirakan. Hidupku
sama seperti ketetapan hidup yang lainnya, suci, sarat misteri, tak dapat diprediksi.
Begitu jinak bila dikendalikan, begitu liar untuk diturutkan
Tidak, bukan berarti sayap-sayapku patah. Jika mengambil
istilah pencinta merpati, namanya kodi, cara mengikat ujung sayap supaya jinak.
Aku tetap bisa bergerak ke mana-mana, hanya saja tidak dapat terbang jauh. Dan
aku merasakan ketenangan yang dalam, jika itu sebuah pemulihan.
Post a Comment