Terlupakan itu pasti. Dan saat itu terjadi, kita
tidak akan lagi mengingat Arya Kamandanu, Madonna, atau salah satu diantara
kita. Namun masalahnya, semua orang ingin dikenang. Dan mereka rela melakukan
apapun demi mendapatkan kesan sepadan dari apa yang diinginkan. Tapi ia
berbeda, ia tau yang sebenarnya.,ia tidak ingin banyak pengagum, ia hanya ingin
satu. Mungkin tidak disukai secara luas, tapi benar-benar merasa berarti. Bukankah
itu lebih dari apapun yang kita miliki? Dan parah itu yaitu ketika hampir
setiap waktu, nyaris semua ingatan sudah diambil alih oleh seseorang yang
berjudul “kamu”.
Bisa jadi kau mencibir “Inilah sepi yang kau
munajatkan dahulu, tika deru mengusik syahdu laju lagu, menafakuri mimpi siang
hari. Puaskah engkau, atau jemu dengan itu ‘duhai sapa?”
"Keheningan ini memekakkan"
Apabila ini awal sebuah puisi, para penyair akan
menuliskannya demikian. Namun karena aku hanya seorang penyinyir, aku tidak
akan mengkiaskan dengan perumpamaan tentang apa yang tengah kurasakan kini. Rasa
tawar yang tak bisa ditawar, semua begitu hambar, ketar.. Ini yang kutakutkan. Indra yang mati rasa, yang tak sanggup mengecap cecap. Seharusnya ini
riuh geliat sekalian alam di panjangnya malam, bukan lengang yang merasuk
genderang.
Kopi baru tandas separuh gelas, di luar hujan kian
deras. Bakar lagi kretekmu kawan, biarkan nynyir itu dibawa serta kepulan asap yang
melangit, untuk kemudian membumi, dalam sebentuk hujan.
Post a Comment