Top Menu

Search This Blog

Hening nan Pekak









Terlupakan itu pasti. Dan saat itu terjadi, kita tidak akan lagi mengingat Arya Kamandanu, Madonna, atau salah satu diantara kita. Namun masalahnya, semua orang ingin dikenang. Dan mereka rela melakukan apapun demi mendapatkan kesan sepadan dari apa yang diinginkan. Tapi ia berbeda, ia tau yang sebenarnya.,ia tidak ingin banyak pengagum, ia hanya ingin satu. Mungkin tidak disukai secara luas, tapi benar-benar merasa berarti. Bukankah itu lebih dari apapun yang kita miliki? Dan parah itu yaitu ketika hampir setiap waktu, nyaris semua ingatan sudah diambil alih oleh seseorang yang berjudul “kamu”.
Bisa jadi kau mencibir “Inilah sepi yang kau munajatkan dahulu, tika deru mengusik syahdu laju lagu, menafakuri mimpi siang hari. Puaskah engkau, atau jemu dengan itu ‘duhai sapa?” 

"Keheningan ini memekakkan"
Apabila ini awal sebuah puisi, para penyair akan menuliskannya demikian. Namun karena aku hanya seorang penyinyir, aku tidak akan mengkiaskan dengan perumpamaan tentang apa yang tengah kurasakan kini. Rasa tawar yang tak bisa ditawar, semua begitu hambar, ketar.. Ini yang kutakutkan. Indra yang mati rasa, yang tak sanggup mengecap cecap. Seharusnya ini riuh geliat sekalian alam di panjangnya malam, bukan lengang yang merasuk genderang.
Kopi baru tandas separuh gelas, di luar hujan kian deras. Bakar lagi kretekmu kawan, biarkan nynyir itu dibawa serta kepulan asap yang melangit, untuk kemudian membumi, dalam sebentuk hujan.


Post a Comment



Copyright © Umah Lugu. Designed by OddThemes