Top Menu

Search This Blog

Memoar



Kisahku tidak akan pernah diceritakan. Aku menulisnya setiap ada kesempatan, di setiap menemukan persinggahan. Aku menulis tanpa tuntunan, tanpa tuntutan. Lalu membakar kertasnya bersama api, atau membuangnya bersama angin. Mungkin burung-burung bisa membacanya.
Kisahku dimulai pada selasa legi, tiga februari. Musim penghujan memasuki bulan yang ketiga, yang mana sedang deras-derasnya mencurah. Tetapi di hari itu langit Galuhtimur sangatlah cerah. Dan tepat tengah hari pukul satu, sesaat ketika matahari mulai beranjak melandai, setelah sepuluh bulan terbilang dalam kandungan, maka lahirlah; lelaki yang kini diketahui sebagai empunya tulisan ini.
William Shakespeare pernah berkata “apalah arti sebuah nama? Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum”. Namun Muhammad s.a.w berujar “nama adalah doa” dimana harapan dan keinginan tersemat kepada pemiliknya. Entah apa yang terlintas di benak kakekku (dari garis ayah) ketika memberikan nama kepada cucu ke empat dari anak pertamanya itu dengan nama Sutejo. Mungkin karena lahir dalam cuaca yang cerah, atau mengharapkan sesuatu kepada cucunya, atau hanya suatu kebetulan semata. Aku tidak sempat menanyakannya.
Orang bilang namaku kuno, persis barang antik.  Tetapi sekarang aku justru lega namaku ketinggalan jaman, hingga tinggallah aku tanpa kembaran. Engkau tahu rasanya sangat menjengkelkan ketika menoleh oleh panggilan yang ternyata bukan untukmu.
Sutejo dalam bahasa Kawi (Jawa klasik) berarti sinar kebaikan. Asal kata dari Su = baik dan Tejo = sinar atau cahaya. Sampai saat sekelompok pemusik keparat beraliran cadas yang menamakan dirinya “Jamrud”  menyanyikan lagu yang memuat kesan kurang baik atas namaku, maka semenjak itu pandangan sebagian orang berubah menjadi gelap lagi kelam. Namun apa hendak dikata, anggaplah mereka pengagum Shakespeare. Dan entah bila menggunakan aplikasi “arti namamu” di media sosial yang tempo hari sempat marak diakses sebagai sarana hiburan belaka, aku sama sekali tidak tertarik walau hanya untuk sekedar mencobanya saja.
Lantas, apakah sekarang sudah mampu menyinari dunia dengan kebaikan sebagaimana yang diharapkan dari arti sebuah nama? Aku tidak bias menjawabnya, aku hanya mencoba menjalani hidup wajar seperti layaknya manusia pada umumnya. Belajar dari ibu bahwa kebaikan dan kesehajaan akan membawaku menuju ketenteraman, kedamaian dan tentunya kebahagiaan. Kalaupun gagal, niscaya itu cara terbaik menjalani kehidupan.
Ibuku memberikan dua hal untukku. Pertama ia memberikan keindahan yang tak terpuisikan. Dan yang kedua, ia memberikan kisah yang tak terceritakan.


Saat umurku baru belajar merangkak, usia yang mana sedang lucu-lucunya. Ibuku sedang memasak di tungku seperti biasanya, dan aku yang sedang tertidur di gendongan kemudian diletakkan di atas meja dapur yang terletak tidak jauh dari tempatnya supaya selalu dalam pengawasan. Dibuatkannnya perapian kecil dari kain bekas yang sudah tidak terpakai untuk menghangatkan tubuh serta untuk menghalau nyamuk yang sekiranya akan menggigitku. Namun tanpa sepengetahuannya, tiba-tiba saja aku menggeliat dan terguling menimpa perapian. Tak ayal tubuhku terpanggang. Punggung, bokong, betis, siku dan jari-jemariku penuh luka bakar. Sementara di bagian lain bisa sembuh sedia kala, luka di jemariku masih membekas hingga saat ini. Mungkin semesta menghendaki suatu tanda, ciri supaya mudah dikenali.
Tahun berlalu dengan kehidupan yang menyenangkan, dan aku tumbuh sempurna sebagaimana mestinya. Bermain layang-layang dan kelereng merupakan kegemaranku, juga bermain gobak sodor di pelataran SD saat sebelum memasuki pelajaran maupun di waktu jam istirahat. Bahkan berkelahi-kelahian dengan berpura-pura menjadi Arya Kamandanu dalam serial sandiwara radio “tutur tinular” pun pernah diperankan semua anak seumuranku di jamannya, dengan pedang naga puspa yang terbuat dari pelepah daun pisang. Namun sepak bola adalah sesuatu yang lain, Aku seperti menemukan ruang tersendiri “tembok kokoh seorang Bek”. Aku terbiasa main di tanah lapang, di jalanan, atau di celah sekitar rumpun bambu. Adapun cekungan tipis di pelipis kanan ini adalah jejak dari gigi lawanku yang mendarat ketika berbenturan di salah satu pertandingan.  Tetapi sebagaimana level pemain “tarkam” pada umumnya, kemampuanku mentok sampai di situ. Satu-satunya kebanggaan adalah juara kelompok umur 15th yang masih kuingat betul hadiahnya. Bukan piala dan paigam penghargaan, ataupun uang pembinaan, melainkan seekor ayam.


Musim kemarau di bulan agustus adalah musim terberat bagiku. Beberapa hari setelah prosesi perkawinan kakak perempuanku, ibu jatuh sakit, kehidupan berhenti seketika itu. 14th usiaku saat itu, marah pada dunia.
Aku meninggalkan kebingungan dan omong kosong untuk mengejewantahkan tentang waktu; beranjak. Dan jalan selalu mengarah ke barat. Di setiap tempat, di mana menemukan persinggahan, aku selalu mencoba menanggalkan beban itu. Menemukan sahabat dan kerabat baru memang menyenangkan, membuatku seakan lepas dan terbebas, namun tak benar-benar meloloskan ganjalan, malah menambahkan beban baru ketika kutinggalkan.
Hidupku penuh dengan misteri dan dengan rahasia itu aku menjadi tercekam dan kedinginan. Aku berjalan dengan kekosongan, dan masa lalu turut serta bersamaku. Aku mengingat semuanya, ini sebuah baban. Ia seperti hidup, mendenyut berkala di degup jantung, mengalir lestari di urat nadi.
Terpujilah malam yang senantiasa mengayomi semesta, saat mana diceritakanya segala peristiwa sebatas senja, menjaga pijar harap tetap membinar. Pada kunang-kunang, bintang-gemintang serta rembulan. Malam itu,. Musik, derai tawa, derak api unggun, daging bakar.. Semua tersaji untuk dinikmati dalam serangkaian. Namun anehnya, aku merasa ada yang kurang, rasanya tidak seperti di rumah. Dan saat-saat itu telah memberikan petunjuk yang sangat nyata tentang kebenaran ungkapan lama soal kesempatan, perihal waktu. Mungkin karena kita tidak menyadari betapa berharganya sesuatu itu justru ketika itu telah berlalu, Lantas, apa aku akan menunda sepuluh tahun lagi sambil menunggu keberhasilan seraya berharap segalanya akan tetap sama, tidak ada yang berubah sedikitpun? Mengapa tidak sekarang saja dan menghemat sepuluh tahun waktuku?
Aku tidak benar-benar tahu di mana aku berada sampai akhirnya aku tiba di sana, di akhir pengembaraanku. Aku memikirkannya lagi dan lagi. Untuk semua hal yang mengajarkanku, dan semua yang belum kupelajari dari sekian jalan kehidupan yang kutelusuri. Hidupku sama seperti ketetapan hidup yang lainnya, tak dapat diterka, tidak bisa diubah, dan suci. Begitu jinak bila dikendalikan, begitu liar untuk diturutkan.
Lalu setelah lelah dengan segala pengembaraan yang menjemukan, aku disadarkan akan rumah, tempat seharusnya berada. Di sana aku lahir, di sana aku tumbuh, di sana mimpi-mimpi itu bermula, dan ke sana pulalah aku kembali. Kami menyebutnya “Umah Lugu”. Semua masalah, omong-kosong dan kepalsuan dunia sirna begitu saja. Inilah keindahan, letak sebenar-benarnya repihan surga yang tersisa di dunia. Jawaban dari semua pencarian dan segala macam pertanyaan.


Apa yang dikenang dari jejak perjalanan?
Wajah, kisah,, wilayah.. Sebagian tercecer atau terlupakan begitu saja, adapun sepenggal sisa didekap sepanjang masa. Perjalanan sangat panjang, dan aku merasa di ujung abad ini. Aku telah menemukan banyak hal. Dan sekarang aku mengerti apa yang diperlukan untuk bahagia. Berselaras dengan semesta, berdamai dengan apa-apa yang aku tanggalkan, lalu beristirahat dan menikmati hidup. Mendengarkan musik serta membaca buku. Dan di atas itu semua yang terpenting adalah keluarga. Apalagi yang didambakan??
Sebelum ini, aku pernah menuruti keinginanku untuk melakukan hal-hal bodoh. Namun aku tidak menyesal, setidaknya bisa menjadi pengajaran, atau untuk bertukar pengalaman di sela waktu menikmati hangat teh melati di sore hari. Tapi andai bisa memutar waktu, aku akan melakukannya dengan cara yang berbeda.
Kata ibuku, dahulu tidak ada apa-apa di sini. Tidak ada rumah, tidak ada jalan, tidak ada kebisingan, hanya setapak lalu-lalang hewan peliharaan di antara luas hamparan perkebunan.  Anak-anak mencari sayur atau jamur untuk makan malam mereka, bertelanjang kaki. Dan salah satu dari anak-anak itu adalah ibuku. Aku tidak tahu jalan itu mengarah ke mana, yang aku tahu mereka ingin datang ke sini; untuk pulang.




kini kutapaki hidupku setarik demi setarikan nafas
semua rela sudah kulepas
dan sesaat sebelum hempas
aku bebas





Aku Tejo
Aku telah membuang kisahku
Satu kisah baru dimulai



Post a Comment



Copyright © Umah Lugu. Designed by OddThemes