Menyepakati ucapmu kala itu,, “ketika semesta luput dari sapa, adalah kebahagiaan tengah melingkupinya”. Dan bila itu kuutarakan
kini, sejatinya engkaupun tahu pasti, bahwasanya inilah puncak keputus-asaan dari rasa gundah
atas tanya yang tak terjawab, tentang sebuah keberadaan berita yang lenyap
tertelan bumi. adalah dusta jika aku mengelaknya. Namun sekali lagi aku memaksakan
egoku dalam menahan diri untuk tidak mencari arti, membiarkan siksa itu kian
dera.
Ya,, aku terlalu angkuh untuk mengakui betapa rasa itu
menguras emosi. Dan mengharapkanmu yang memulainya adalah kemustahilan belaka
mengingat pola pikir kita yang serupa.
Kemudian aku mencoba menyiasati dengan melarutkan diri pada nuansa
sunyi, menggali kenang guna melipur gundah, sebab puisi telah mati ditikam
sunyi.
Tetapi sampai kapan?? Pertanyaan yang terdengar klise, namun
cukup menohok.
Aku terdiam, hanya bisa diam. Pengejawantahan dari entah.
Post a Comment